MAKALAH
RELASI GENDER
DALAM AGAMA BUDDHA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender dalam
Agama-Agama
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, M.Ag
Oleh:
Afiifah Yusriyyah: 11140340000188
Dewi Rahmayanti: 11140340000169
Sayyida: 11140340000154
JURUSAN
ILMU AL-QUR’AN DAN
TAFSIR PA V C
FAKULTAS
USHULUDDIN
UIN
SYARF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Assala’mualaikum wr. wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah serta karuniaNya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi Gender dalam Agama
Buddha” sebagai tugas mata kuliah “Relasi Gender dalam Agama-Agama”.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang
taat hingga akhir zaman. Al-hamdulillah, atas karunia-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Relasi Gender dalam Agama Buddha”. Penulis menyadari, bahwa
dalam membuat makalah ini, masih kurang sempurna atau tidak memenuhi tujuan
yang diinginkan baik oleh Dosen Pemberi tugas Mata Kuliah Relasi Gender dalam
agama-Agama. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun
didalam, cara praktis hasil makalahnya, demi tugas-tugas berikutnya dan
kesempurnaan didalam sebuah makalah.
Tak lupa, atas bimbingan dan bantuan dari semua
pihak, hingga terselesaikannya tugas makalah ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga amal
baiknya mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Ciputat, 15 September 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Pemakalah ............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Gender dalam
Perspektif Buddha......................................................... 3
B. Status Perempuan
dalam Ajaran Agama Buddha................................. 5
1. Status Perempuan
dalam Aliran Buddha Theravada......................... 6
2. Status Perempuan
dalam Aliran Mahayana ...................................... 5
C. Peran Perempuan
dalam Sejarah Agama Buddha................................. 8
1. Penolakan terhadap
Argumen ‘Setara’ dalam Buddhisme................ 9
2. Perempuan-Perempuan
dalam Aliran Agama Buddha.................... 11
D. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran
Gender Tradisional............ 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada awalnya Masyarakat India pra
Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme
berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki-laki.
Kemudian seiring dengan berkembangnya zaman peran
gender dalam masyarakat Buddha, dibangun secara social budaya atau dengan cara
sudut pandang seseorang pada masanya. Kekuasaan dan kewenangan ditentukan oleh
tradisi dan adat dalam masyarakat tersebut. Ketika Budha hadir status perempuan
menurun karena dominasi para Brahmana. Kemudian seiring waktu Budhisme pada
masa sekarang menekankan pada peran dan status perempuan, bukan hanya dengan
menambah perannya sebagai seorang ibu, istri, dan anak perempuan, namun juga
dengan membuka jalan baru bagi perempuan untuk menjadi seorang akademisi, pemimpin
komunitas, petapa pengelana, dan pencari kebebasan setaraf dengan laki-laki.[1]
Kemudian Dalam
tradisi Budhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan
laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki
hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai Nirwana. Hal ini
termaktub dalam teks: “Siapapun yang memiliki seuah kendaraan seperti itu, baik
perempuan maupun laki-laki, sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan tadi,
ia akan mencapai Nirwana” (S.1.3). Budhisme juga memiliki ordo rahib perempuan,
dia dapat mencapai arhant (Nirwana). Karenanya, rintangan utama untuk mencapai
pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Namun demikian, dalam
aliran Budha Mahayana, perempuan diposisikan lebih rendah daripada laki-laki.[2]
Melalui proses
pengamatan, analisis, dan eksperimen yang panjang, akhirnya Buddha berhasil
menembus kebenaran (Dhamma) dan merumuskan suatu cara hidup (way of life),
Delapan Jalan Utama. Sebagai suatu cara hidup, ajarannya terbuka bagi siapa
saja tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit, status sosial, atau
faktor-faktor lainnya.[3]
Bangsa Indonesia
pada umumnya tidak mempermasalahkan apakah mereka dipimpin oleh seorang
perempuan atau laki-laki. Dalam mengisi kegiatan di segala bidang sesungguhnya
perempuan baik sebagai warga negara maupun sumber daya manusia mempunyai hak
dan kewajiban sama dengan laki-laki. Sejak konversi penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984,
persoalan keadilan perempuan semakin mengemuka dikalangan feminis Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutannya pada Hari Ibu 22 Desember
2006 mengatakan bahwa perempuan harus bisa melakukan upaya mengembangkan diri
dengan menghormati diri sendiri, percaya diri, mandiri dan mengembangkan diri.
Pendeknya perempuan harus bisa mengembangkan dirinya.[4]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Status Perempuan dalam Agama Buddha?
2.
Bagaimana
Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha
3.
Bagaimana
Reinterpretasi dan Adaptsi Peran-Peran Gender Tradisional?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui dan memahami bagaimana status perempuan dalam agama Buddha
2.
Untuk
mengetahui bagaimana peran perempuan dalam sejarah perkembangan agama Buddha
secara keseluruhan
3.
Dan
untuk mengetahui dan memahami Bagaiamana Reinterpretasi dan Adaptsi peran-peran
Gender Tradisional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gender dalam Perspektif Buddhis
Masyarakat India pra
Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat
bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki-laki. Buddha
sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak ada sistem
kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu menjalankan Dhamma terlepas dia
laki-laki atau perempuan. Salah satu ini juga yang membuat sang Buddha
terkadang menegur golongan Brahmana. Mereka mengajarkan ajaran mereka demi
mengkokohkan kedudukan mereka di mata masyarakat sehingga hal ini harus
dijauhkan oleh sang Buddha.
Ada sebuah kisah ketika
Ratu Malika mengandung, dia berharap keturunannya adalah laki-laki, karena pada
masa itu masyarakat mengharapkan anak laki-laki yang lahir. Tetapi Ratu Malika
melahirkan seorang anak wanita dan dia bersedih, tetapi hal itu langsung di
dinasehati oleh sang Buddha:
“Seorang anak perempuan
oh Sri Baginda, akan menjadi keturunan yang lebih baik dari pria, sebab ia akan
melahirkan jiwa yang dapat memerintah dan membimbing manusia. bahagialah
baginda.”[5]
Dalam situasi demikian, Buddha hadir
membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang
hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni
atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri:
menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan
hidup sebagai bhikkhuni. Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang
hampir setara, yang pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat
radikal. Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut bertolak dari Hukum Karma
yang diajarkannya: Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang
berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan
oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak
dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya,
salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat
menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan potensi pencapaian
spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri
dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña
(kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang
fundamental dan universal.’ Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status
perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan,
terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan
negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang
egaliter.
Pendapat lain
mengklaim bahwa sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul karena pengaruh
Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang patrtiarkis
di mana agama Buddha berkembang.[6]
Kesetaraan gender dalam agama Budha
didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya
kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut agama
Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka
bumi ini. Dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga
kedudukan antara laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak
dipermasalahkan. Agama Buddha membimbing umatnya untuk menghargai gender.
B.
Status Perempuan dalam Ajaran Agama Buddha
Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang berkeluarga,
agar perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam Samajivi Sutta
dusebutkan: “Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu
dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang
yang memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang
sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang
sebanding. Suami istri yang demikian itu tentu dapat saling bertemu sekarang
ini dan dalam kehidupan yang akan datang.” Sang Buddha dari awal sudah
mengkritik pendeta Brahmana yang mana ketika mereka menanyakan ke sang Buddha,
mereka hanya ingin menguatkan kedudukannya sebagai Brahmana.[7]
Tradisi
Buddhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan
laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai nirwana.
Hal ini termaktub dalam teks; “Siapapun yang memiliki kendaraan seperti itu
baik perempuan maupun laki-laki sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan
tadi, ia akan mencapai nirwana.” Buddhisme juga memiliki ordo rahib perempuan,
dia dapat mencapai Nirwana. Karenanya, rintangan utama untuk mencapai
pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Namun demikian dalam aliran
Buddha Mahayana, perempuan di posisikan lebih rendah daripada laki-laki.[8]
Kemuliaan seseorang
tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan
(kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan.
Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan
membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang
mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya
setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
Buddha menegaskan
potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal
tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi
(konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme
dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.
Setelah Buddha
meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah
karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat
ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma buruk masa lampau dibanding
kelahiran sebagai laki-laki.[9]
1.
Status Perempuan dalam
aliran Budha Theravada
Budha menginginkan kaum perempuan terbebas dari
penderitaan, jangan menyerah terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau
menciptakan kondisi bagi kaum perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan
setuju bahwa perempuan mampu untuk mencapai tingkat arahat. Dalam winaya pitaka
menjabarkan tentang disiplin bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
Semua teks pali ini merupakan sumber untuk memahami
hakikat perempuan dalam tradisi theravada, jelas bahwa pada jaman Budha, ada
banyak kasus perempuan dari berbagai golongan masyarakat yang menjdi bikhuni
dan jelas beberapa dari mereka meraih tingkatan arahat.[10]
Akan tetapi pada abad
kekinian, tradisi teravada yang dianut di Srilanka, Thailand, Laos, Kamboja,
Myanmar. Tidak lagi punya Bhiksuni maka dari itu aliran tervada di
Negara-negara tersebut dipandang sempit dan jelas bertentangan dengan
ajaran-ajaran Budha. walaupun sangha Bhiksuni ada di zaman Budha dan sila
Bhiksuni termasuk di dalam Winaya dari kitab Pali. Menurut perspektif
kontemporer, lenyapnya bhiksuni ari Sangha di Negara-negara Tervada menunjukan
ketiadaan dan keterbatasan perkembangan ajaran –ajaran Budha.[11]
2.
Status Perempuan Dalam
Aliran Mahayana
Dalam naskah Budhis
Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan sebagai
Bhodisatwa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga menemukan
beberapa ketidak jelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam. Beberapa kisah
yang terkenal dalam Sutra Sadharmapundarika, Sutra Wirmalakirtinirdesa, Sutra
Astasahasrika Prajnaparamita, dan Sutra Sirmalasimhanada menggambarkan umat
awam wanita, kadangkala bahkan anak-anak perempuan berusia delapan tahun, yang
menguasai doktrin yang mendalam terlibat dalam praktik Bhodisatwa.[12]
Adapun perbedaan status perempuan dalam tradisi Theravada
dan Mahayana yaitu:
Sudut pandang tradisi Mahayana mengenai umat manusia
sangat berbeda dari Theravada. Sementara tujuan spiritual Theravada adalah
menjadi seorang Arahat, dalam Mahayana tujuannya menjadi seorang Bodhisatwa dan
akhirnya menjadi seorang Buddha. Mahayana berarti kendaraan besar, berlawanan
dengan Theravada yang berarti kendaraan kecil. Gagasan bahwa kendaraan Mahayana
itu cukup besar untuk mengankut semua makhluk mencapai keselamatan, sementara
kendaraan kecil Hinayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi
Mahayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi Mahayana
berpandangan lebih liberal dan modern mengenai umat manusia, membuatnya
memiliki sudut pandnag yang lebih tepat demi kemajuan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, aliran Mahayana menyebar dengan pesat. Salah satu contohnya adalah
banyaknya biksuni seperti di Negara Cina, Taiwan, Korea, dan Vietnam.[13]
C.
Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha
Dalam berbagai
vihara, para pendeta wanita sebagai pembantu para bhikku dan bikhhuni memberi
pembinaan kepada umat baik pria maupun wanita, demikian pula dalam memberikan
upacara perkawinan, kematian, tidak ada perbedaan dengan pendeta pria, karena
dibutuhkan kerjasama yang sebaiknya untuk umat.[14]
Perempuan dalam
agama Buddha bukan hanya berperan aktif pada masa klasik. Mereka juga aktif di
masa modern, dapat di ambil contoh, pada tanggal 9 Mei tahun 1979
telah berdiri suatu organisasi agama Buddha yang bernama Perwalian Umat Buddha
Indonesia (Waluba). Organisasi ini dilandasi bagaimana umat Buddha di Indonesia
yang telah menjadi beragam sekte dapat bersatu. Maka tercetuslah organisasi
tersebut. Kemudian Girirakkhito Mahathera ketua umum DPP Waluba telah
menugaskan dengan kepercayaan penuh Dra. Siti Hartati Murdaya, untuk
melaksanakan misi, untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam Perwalian
Umat Buddha Indonesia.[15]
Dalam kehidupan
masyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran laki-laki maupun perempuan.
Mereka memiliki kemampuan yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga
bisa menjadi majikan, atasan, guru (Brahamana) sesuai khotbah sang Buddha. Kesetaraan
gender dalam agam Budddha disadari kewajibn dan tanggung jawab bersama dalam
rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah
tangga. Menurut agama Buddha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang
muncul bersama di dunia ini. Dan Dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya
masing-masing. Sehingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam agama
Buddha tidak dipermasalahkan. Agama Budddha membimbing umatnya untuk menghargai
gender. Dalam Paninivana Sutta, sang Buddha mengatakan seluruh umaat manusia
tanpa tertinggal memiliki jiwa Buddha. Laki-laki dan perempuan memliki tugas
yang agunng, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi
kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter yang berlawanan, padahal justeru
dari sinilah muncul keseimbangan.
Dalam agama
Buddha, kehidupan di capai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religious dan
sekuler. Dalam komunitas religious, jelas bahwa diskriminasi munul, yaitu
hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu
sang Buddha hidup. Karena tangga Bikhuni daianggap sudah hancur dan tidak
pernah bisa didirikan lagi ketika India dan Srilanka diserang oleh bangsa Turki
dan Holland. Karena syarat pentahbisan Bikhuni dianggap sudah mati, maka kaum
perempuaiknyan sudah tidak bisa lagi dioptimasi. Hal ini sudah melawan doktrin
dasar sang Buddha tentang kesetaraan.
Dalam
lapangan sekuler (kehidupan rumah tangga), cacat ini tidak begitu terlihat.
Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori sang Buddha karena
tidak menemukan teks-teks kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal
sebenarnya tidak juga hidup berkeluarga dalam agama Islam, Kristen, Hindhu
pernikahan dianggap sakral, namun tidak dalam agama Buddha. Oleh karena itu
tidak ada sanksi religious dalam hubungan suami istri.
Dalam teori
hukum karma, kelahiran sebagai perempuan merupakan karma buruk. Sang Buddha
merevolusi hukum tersebut dengan penemuan baru teori hukum karma bahwa
laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak dibedakan berdasarkan fisik, kelas
kastanya. Terapi dari perbuatan masing-masing. Mendengar ajaran itu, para perempuan
dari suku Satya yang semuanya bangsawan (dimulai dari bibi sang Buddha sendiri
yang menjadi ibu tiri yang membesarkannya, yaitu Mahapati Gotami) dan istri
sang Buddha sendiri, Tias Negara menghadap kepada sang Buddha dan memohon:
“sang Buddha alangkah baiknya perempuan juga di perbolehkan untuk menjalani
hidup suci karena kami ingin mencapai kesucian.” Sang Buddha menjawab:
“Berhati-hatilah dengan keinginanmu itu.” Permohonan ini tiga kali di tolak,
hingga para perempuan ini minta bantuan asisten sang Buddha yaitu Bikhu Amanda
dan ternyata permohonan ini masih di tolak, tetapi pada akhirnya permohonan ini
dikabulkan.
Dalam konteks
perilaku, hubungan laki-laki dan permepuan masih di pengaruhi oleh budaya
India yang patrialistik. Jadi kalau
secara teori kelihatannya agama Buddha selangkah lebih maju tapi ternyata beban
kultur patrialistrikmasih tetap ada. Misalnya: ada teks yang menyatakan bahwa
perempuan yang dianggap sebagai istri sempurna
adalah perempuan yang bangun lebih dulu dari suaminya, selalu pergi idur
setelah suaminya tertidur , selalu patuh pada suaminya, selalu bersikap ramah
dan sopan, dari mulutnya hanya keluar kata-kata ramah dan sopan. Teks-teks
minor seperti itu telah dianalisis oleh feminis Budhhis, terlihat
ketidaksesuaian teks teks tersebut dengan teks-teks yang lain, ketidaksinkronan
antara teks-teksdengan spirit ajaran Buddha yang egaliter.
Perempuan-perempuan
dalam aliran agama Buddha
Sang Buddha
sudah memberikan petunjukk kepada seluruh manusia bahwa wanita dan laki-laki
adalah sama derajatnya. Sang Buddha hanya menilai seseorang dari perbuatan baik
bukan dari jenis kelamin. Di masa Buddha sudah terbentuk komunitas Sangha
wanita yang dipimpin oleh Prajapati Gautami kemudian diikuti oleh limaratus
putri bangsawan. Mereka berjuang agar sang Buddha mentahbiskan mereka sebagai
Bikkuni walaupun tubuh dan badan mereka tersiksa. Mereka juga bersedia
melakukan atauran- aturan yang ketat demi mencapai Nirvana.
Tetapi
dalam perkembangan sejarah terdapat perselisihan mengenai apakah perlu ada
Bhikkuni? Ada sebagian yang berpendapat bahwa Bhikkuni tak perlu ada dalam
sangha. Sebagian lain juga berpendapat bahwa Bhikkuni harus tetap ada karena
sang Buddha pun mentahbiskan Bhikkuni pada masanya. Pandangan ini telah
terpecah ke dalam dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Mahayana dan
Theravada. Konflik yang menandai pemisahan aliran ini ialah sebagian Bhikku
mendemo atau memprotes kebijakan sangha yang terlalu ketat, mereka menganggap
sangha telah keluar dari ajaran Buddha. Maka sangha mulai rapat dan
merekontruksi ulang ajaran sang Buddha. Tetapi upaya ini tidak berhasil, para
Bhiku yang merasa kecewa memisahkan diri dan membentuk komunitas yang bernama
Mahayana.
Dari
terpisahnya aliran ini, tentu mempunyai corak pemikiran yang berbeda. Dalam hal
kebijakan wanita juga kena imbasnya. Misalanya dalam aliran Theravada, seperti
di dalam Vihara Vippasana Bandung, dalam aliran Theravada sudah tidak ada lagi
Bhikkuni. Mereka boleh tinggal di Vihara tapa hanya sebagai pelajar bukan
sebagai pemimpin upacara. Hali ini dikuatkan oleh pengumuman bahwa Bhikkuni
tidak ada lagi di aliran Theravada.
Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional
Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep Bhodisatwa.
Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang
yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi
mengabdikan dirinya demi orang lain. Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang
seperti halnya dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan
juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa
perempuan juga bisa menjadi Buddha.[16]
Tetapi kalau kita melihat dalam konteks sekarang, di mana
kesejajaran laki-laki dan perempuan sudah sedemikian gencarnya diperjuangkan,
hal tersebut masih cacat karena Sang Budha harus khawatir dengan pergolakan
masyarakat. Sang Budha khawatir jika dia membolehkan perempuan langsung naik
sedemikian tingkatnya sejajar dengan laki-laki, maka masyarakat dan bahkan
bikhu yang belum mencapai kesucian seperti Sang Budha, akan protes belum bisa
menerima revolusi sedemikian besar. Tetapi justru hal ini menjadi nperdebatan
lagi, kalau memang Sang Budha dipercaya
sudah mencapai kesucian demikian tinggi, kenapa masih khawatir dengan kondisi
masyarakat. Hal ini juga berkaitan karena percakapan yang ada dalam Kitab Suci
ini juga menjadi legitimasi bagi para bikhu dan kaum laki-laki dalam agama
Budha untuk memandang bahwa posisi perempuan sudah selayaknya di bawah
laki-laki. Adanya ketidak sejajaran ini berdampak pada permasalahan gender
dalam kehidupan sekuler (kehidupan rumahtangga). Dalam agama Budha, kehidupan
dicapai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religius dan sekuler.[17]
Dalam
komunitas religius, jelas bahwa diskriminasi muncul, yaitu hilangnya hak
perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu Sang Budha
hidup.Karena tangga bikhuni dianggap sudah hancur dan tidak pernah bisa
didirikan kembali ketika India dan Srilanka diserang oleh Bangsa Turki dan
Holland.Karena syarat pentahbisan bikhuni dianggap sudah mati, maka kaum
perempuan sudah tidak bisa dioptimasi.Hal ini sudah melawan doktrin dasar Sang
Budha tentang kesetaraan.
Dalam lapangan
sekuler (kehidupan rumahtangga), cacat ini tidak begitu terlihat.Sehingga ada
ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori Sang Budha karena tidak menemukan
teks-teks yang bersifat metogenis dalam ajaran dasarnya. Maka seakan-akan,
dalam ajaran Sang Budha, kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal
sebenarnya tidak juga.
Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut mengajarkan kemuliaan
seseorangtidak berasal dari kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari
keturunan tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang
dilakukan.Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan
batin dan membebaskan seseorang dari samsara, oleh karenanya salah satu
keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan
orangtuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
D.
Kedudukan Perempuan Dalam Agama Buddha
1. Perempuan Sebagai Makhluk Di Muka Bumi
Perspektif Buddhis, manusia pertama adalah
makhluk-makhluk cahaya yang aseksual, yang kemudian berdeferensiasi menjadi dua
golongan seks. Menjadi laki-laki atau perempuan terkait dengan perbuatan yang
bersangkutan CD.III, 84 & 88. Dalam agama Buddha kehidupan tidak hanya
sekali, dalam lingkaran kehidupan yang berulang-ulang, seorang laki-laki atau
perempuan tidak selalu akan dilahirkan dengan jenis kelamin yang sama dengan
kehidupan sebelumnya, begitu pula dengan kehidupan berikutnya[18].
Seorang perempuan padakehidupan sekarang bisa saja dulunya adalah laki-laki
seperti yang diriwayatkan mengenai isidasi misalnya, setelah mencapai
pencerahan ia dapat mengingat kembali bahwa ia pernah dilahirkan sebagai seorang
laki-laki. Nasibnya termasuk jenis kelaminnya berhubungan dengan karma atau
perbuatannya di masa yang silam (thing-434-447)[19]
Pada zaman kasta Brahmana, kaum sudra dan
budak permpuan dilarang membaca Weda. Hukum manu mencabut hak perempuan dalam
agama dan kehidupan spiritual. Seorang perempuan tidak dapat mencapai surga
melalui berbagai kebajikan yang diperbuatnya sendiri, Karena seorang perempuan
memang menanggungbeban haid, hamil dan melahirkan. Itu yang menghambat kaum
perempuan mencapai kedudukan suci. Hukum manu juga menggambarkan bahwa semua
perempuan itu jahat, kotor dan digunakan sebagai alat. Status perempuan itu
hina dan mereka tidak diperlakukan sebagai manusia.
Setelah datangnya Buddha Gautama seorang
perempuan sangat dimuliakan dan disejajarkan dengan kaum laki-laki. Buddha
bersabda: kalau seorang perempuan tidak kalah lebih baik ketimbang seorang
laki-laki, karena seorang perempuan akan melahirkan seorang Buddha lainnya.
2. Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan
Menurut agama Buddha sangatlah tidak
dibenarkan untuk memandang perempuan lebih rendah. Sang Buddha sendiri pernah
dilahirkan sebagai perempuan pada beberapa kesempatan selama kelahiran-kelahirannya
terdahulu dalam samsara sebagai perempuan pun beliau mengembangkan
kebijaksanaan dan kemuliannya sampai beliau mencapai penerangan.
Dalam Samyutta Nikaya, sang Buddha
mengatakan bahwa dalam beberapa hal perempuan dianggap lebih cerdik dan
bijaksana dari pada laki-laki. Perempuan dapat mencapai tingkat kesucian
seperti laki-laki kalau mereka menjalankan ajaran dan disiplin sang Buddha
dengan baik. Sang Buddha merestui berdirinya sang Sangha Bhikkhuni pada 583 SM
yang membuka jalan kebebasan bagi kaum perempuan (di India) masa itu untuk
menjalankan agama mereka yang sebelumnya sangat dibatasi. Bentuk laki-laki atau
perempuan dalam agama Buddha tidak menjadi halangan dalam mencapai kesucian.[20]
Dari uraian diatas jelaslah bahwa sang
Buddha telah mengangkat derajat kaum wanita yang pada masa itu dipandang sangat
rendah sehingga menjadi sama tingginya dengan kaum laik-laki, bahkan pada
saat-saat tertentu sang Buddha sangat berterima kasih dan menghargai peran
perempuan. Beliau pernah mengatakan "Itthi hi pi ekacciya seyya",
yang berarti perempuan sering lebih baik dari pada kaum laki-laki.
Seperti pada zaman Buddha, Raja Pasenadi
Kosala yang sangat sedih ketika mendengar laporan bahwa permaisuri Ratu Mailika
melahirkan seorang putri karena beliau menginginkan seorang putra sang Buddha
telah menghibur mereka. Beliau menerangkan kepada Raja Kosala Dalam SN.1.86
"Sesungguhnya,
seorang anak perempuan dapat merupakan keturunan yang lebih baik dari pada
seorang laki-laki, ya baginda raja rakyat : ia dapat tumbuh bijaksana, bajik,
dihormati ibu suaminya, sebagai istri yang berdedikasi.
Putra yang
dilahirkan darinya kelak dapat menjadi seorang pahlawan, memerintah negara
besar.
Putra
seperti itu dari seorang perempuan yang mulia yang menjadi pembimbing segenap
bangsanya”.[21]
Agama Buddha
mengakui derajat dan hak secara hakiki termasuk emanasi perempuan.
3. Hak dan Kewajiban Laki-Laki dan Perempuan
Dalam agama Buddha hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri
manusia, baik laki-laki maupun perempuan, karena seseorang itu tidak bersumber
dari suatu kedudukan dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban yang terdapat
pada kaum laki-laki dan perempuan itu diberi sejak lahir yang mana laki-laki
dan perempuan diberi hak yang sama dengan dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan
perdamaian.
Hak dan kewajiban yang paling asasi dalam
agama Buddha adalah hak ntuk hidup, kebebasan, persamaan dan hak milik. Hak dan
kewajiban ini dikembangkan menyangkut hak individu dalam kedudukannya sebagai
anggota masyarakat terhadap sesamanya. Diantara persamaan hak dan kewajiban
kaum laki-laki dan perempuan dalam agama Buddha sebagai berikut.
a. Hak dan kewajiban memperoleh pendidikan
Pandangan Buddha masalah sentral adalah
penderitaan manusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha).
Buddha menempatkan tanha pada urutan pertama yaitu kebodohan, yang tertera pada
syair
“Yang lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan-kebodohan
merupakan noda yang paling buruk. Para bikhu, singkirkan noda ini dan jadikan
orang yang tak bernoda” (Dhp.243)[22]
Dengan kata lain keinginan yang rendah itu
bisa membuat manusia bodoh. Bodoh merupakan noda yang paling buruk, jadi perlu
dihilangkan. Oleh karena itu Buddha memberikan hak dan kewajiban kepada manusia
baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap
dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri
(dan belajar itu seumr hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan
mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja
dan terencana untuk menolong seseorang belajar dan bertanggung jawab,
mengembangkan diri atau mengubah prilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan
individu dan masyarakat. Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal
untuk bekerja dan membantu atau melayani orang lain dengan baik.[23]
Pendidikan agama Buddha bertujuan untuk
mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan,
keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak. (Vin. I, 21) karena mendatangkan
kebaikan ini, menurut Mahamangal-Sutta, memiliki pengetahuan dan keterampilan
merupakan salah satu berkah utama.
b. Hak dan kewajiban dalam bidang ekonomi
Agama Buddha tidak mengajarkan ilmu
ekonomi, tetapi prinsip moral dan agama yang diajarkan-Nya melatar belakangi
ilmu ekonomi bagi pemeluk agama Buddha. Salah satu ilmuwan yaitu Schumacher
menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu pasti ada, karena pencaharian
atau penghidupan yang benar adalah salah satu dari delapan unsur jalan mulia di
dalam agama Buddha yang disebut sila terdiri dari tiga unsur ucapan benar,
perbuatan benar dan mata pencaharian benar
Dalam kegiatan ekonomi ini tidak dibedakan
antara laki-laki maupun perempuan yang mencari mata pencaharian benar, mereka
hanya menjalankan hak dan kewajiban untuk mencari ekonomi demi kelangsungan hidup.
Dan mereka harus menjalankan penghidupan secara benar tidak akan merugikan
makhluk lain.
Ada banyak mata pencaharian yang baik, yang
tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat pihak mana pun menderita.
Buddha memperhatikan baik buruknya suatu barang diperdagangkan, sehubungan
dengan ajaran tentang sila. Yang terdapat lima jenis perdagangan yang harus
dihindari, yaitu berdagang berdagang senjata, makhluk hidup, daging, minuman
keras dan racun (A.III,207)[24]
4. Status dan Peranan Perempuan
Pada zaman sebelum Buddha Gautama,
diskriminasi terhadap kaum perempuan merupakan hal yang umum. Status mereka
pada masa itu sangat menyedihkan sekali. Mereka tidak dianggap sebagai individu
dengan hak-haknya, tetapi mereka hanya merupakan milik yang dapat diberikan, dijual bahkan ditukarkan. Mereka juga dianggap
sebagai “benda” pelengkap bagi laki-laki. Tugas mereka hanyalah melaksanakan
pekerjaan rumah tangga, pemuas nafsu laki-laki dan sebagai mesin untuk
memperbanyak keturunan.
Perempuan pada zaman itu di bawah kekuasaan
kaum laki-laki pada masa kanak-kanak perempuan dibawah kekuasaan ayahnya.
Setelah menikah ia dibawah kekuasaan suaminya, meskipun suaminya orang jahat.
Ia harus merawat putra-putranya yang akan mewarisi sembahyang leluhurnya kelak.
Jika suaminya meninggal dunia, kekuasaan beralih kepada anak laki-laki.
Kedudukan laki-laki masa itu dipandang sangat tinggi karena selain sebagai
penerus garis keturunan, juga hanya laki-lakilah yang boleh mengadakan upacara
sembahyang kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal dunia.[25]
Pada masa Buddha Gautama diskriminasi
terhadap kaum perempuan yang demikian ekstrim, Sang Buddha muncul dan
memberikan kebebasan penuh kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan agama. Beliau merupakan guru agama yang pertama yang memberikan agama
ini kebebasan kepada perempuan; mengangkat dan memberikan persamaan status
kepada kaum perempuan serta tidak membatasi mereka untuk mencapai
tingkat-tingkat kesucian dan kemajuan bathiniah. Beliau mengatakan bahwa hina
atau mulianya
manusia itu
tergantung kepada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin atau kastanya.
Dalam hal ini peranan perempuan pun sangat
penting dan dapat dipertimbangkan dalam peranan sebagai berikut:
a. Sebagai seorang istri
Dengan mendalami apa yang diajarkan oleh
Buddha, tidak akan mempersoalkan siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah
diantara suami dan istri. Kepada anak-anak perempuan uggaha yang akan menikah,
peran sebagai istri Buddha memberi nasehat agar seorang istri bangun lebih pagi
dan tidur lebih malam dari pada suaminya. Nasehat itu tidak berdiri sendiri dan
justru untuk kepentingan perempuan agar dapat menjaga posisinya. Buddha tidak
hanya mengajarkan bagaimana seorang istri bersikap agar tetap dicintai suami (dan
sebaliknya), tetapi juga sejauh mana istri dapat berperan. Seorang istri dapat
mempelajari seluk beluk pekerjaan suami dan lebih baik lagi sanggup
menguasainya. Ia harus cakap mengelola rumah tangga, mengatur agar seluruh
penghuni rumah melaksanakan kewajiban dan mematuhi kebutuhan masing-masing,
baik yang sehat atau pun yang sakit. Istri pula yang mengamankan pendapatan
atau harta (A.III, 36-37) perempuan yang memiliki kualitas semacam itu akan
berhasil meraih kekuasaan dan dunia ada dalam genggamannya (A.IV, 270). [26]
b. Sebagai seorang ibu
Ajaran Buddha menggambarkan kehidupan
wanita sebagai seorang ibu, mempunyai kedudukan yang terhormat. Terkadang
digambarkan bahwa
ibu
merupakan tangga untuk naik ke surga (paramasakha). Aspek keibuan
penting dalam kehidupan karena selalu akan memberikan kelahiran baru. Kualitas
manusia yang dilahirkan banyak tergantung dari sikap jiwa ibu yang mengandung
dan memelihara sejak dalam kandungan.
Dalam agama Buddha dikenal adanya tprajnaparamita
sebagai perlambang dari sifat keibuan yang penuh dengan cinta kasih sayang.
Dalam salah satu bait syair dari Rahulabadra dinyatakan Prajnaparamita sebagai
ibu para Buddha sebagai berikut:
“Para Buddha
yang menjadi guru agung adalah putramu yang tersayang dan terkasih karena itu engkau
adalah putri yang diberkahi yang paling mulia dari segala makhluk”.
Dari syair ini Prajnaparamita dilambangkan
sebagai ibu yang bijaksana, yang telah melahirkan para Buddha melalui
kebijaksanaan sempurna yang sangat menentukan dalam kelahiran manusia baru yang
bijaksana (prajna).[27]
Di dalam Karaniya Metta Sutta dijelaskan
tentang cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya sebagai berikut:
“Bagaikan
cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya, yang tidak segan-segan
berkorban, sekalipun dengan mengorbankan jiwa raganya. Demikianlah hendaknya
cinta kasih yang tiada terhingga ini dipancarkan kepada semua makhluk tanpa
batas”.
Pengembangan pemujaan pada aspek keibuan mendapati ciri khas dalam
Buddha Dharma sebagai pemujaan ibu dunia, suatu bentuk Bodisatva yang
digambarkan sebagai perempuan yang agung, bijaksana dan penuh cinta kasih-kasih
sayang. Dengan dinyatakan sifat feminin dalam pemujaan, maka aspek keperempuan
memperkaya pandangan tentang keibuan, sehingga sikap keagamaan yang ketat dapat
diperlunak dengan sifat keibuan, toleransi yang penuh kasih semesta.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa pada saat Masyarakat India pra
Buddha, sangat tidak menghormati perempuan atau disebut deskriminasi terhadap
kaum perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi
pemimpin upacara hanya hanya dari kalangan laki-laki saja.
Pada saat Buddha hadir ia membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan,
perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam
menjalani kehidupan religius maupun sosial. Tetapi Setelah Buddha meninggal timbulah pandangan bahwa kelahiran sebagai
perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Dan ada
perdebatan antara status perempuan dalam aliran Theravada dan Mahayana.
DAFTAR PUSTAKA
Diputhera, Oka. Agama Buddha
Bangkit. Arya Suryacandra Okaberseri Cet. 1., Jakarta:2006
Dhiya’ul Fauzain, Aris. Perbandingan
Agama 3. Jakarta: 2016
Sharma Arvind (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia,
Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA-McGill Project, 2002
Soepangat,
Parwati. Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team
Penyusun Vihara Vimala Dharma, Bandung: cet. II 2005
Wiharja, Jani Tandi “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita
budha lintas generasi” .
Dikutip dari Pdf Perspektif Buddhis tentang Pemahaman dan
Sikap Adil Gender dalam Keluarga. Wilis
Rengganiasih E.E.
https//relasi gender 2016 bu Nadroh/Relasi Gender dalam
Agama-Agama Relasi Gender Dalam Agama Budha.htm
diakses pada tanggal 14 September 2016
http://www.kompasiana.com/ardiyansyah/relasi-gender-dalam-agama-budha_
(di akses pada tanggal 14 september 2016)
http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ (diakses pada tgl14 sepetember
2016)
http://equalityofright.blogspot.co.id/2014/12/relasi-gender-dalam-agama-buddha.html
diakses pada tanggal 14, Sepetember
2016
http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ diakses pada tamggal 14 september 2016
http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ diakses pada tamggal 14 september 2016
[4] Ida Ayu Tary Puspa, Pemimpin Perempuan
yang Balinese dalam Perspektif Hindu, http://ejoernal unud.ac.id,30
Januari 2009
[7]http://www.kompasiana.com/ardiyansyah/relasi-gender-dalam-agama-budha_
(di akses pada tanggal 14 september 2016)
[9] http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ (diakses pada
tgl14 sepetember 2016)
[16] http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/
diakses pada tamggal 14 september 2016
[17] http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/
diakses pada tamggal 14 september 2016
[20] M. Masyhur Amin, Mashruchah, Wanita
dalam Percakapan AntarAgama (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992), h. 54
[21] Dioko Mulyono, Petrus Santoso dan
Kristiyanto Liman, Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha, Fpbl,
2008), h. 548
[23] Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana
Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre,
2003), h. 304