Kamis, 01 Desember 2016

RELASI GENDER DALAM AGAMA BUDDHA

Post oleh : yui | Rilis : 04.49.00 | Series :


MAKALAH
RELASI GENDER DALAM AGAMA BUDDHA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender dalam Agama-Agama
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, M.Ag




Oleh:
Afiifah Yusriyyah: 11140340000188
Dewi Rahmayanti: 11140340000169
Sayyida: 11140340000154



           
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR PA V C
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016

KATA PENGANTAR
Assala’mualaikum wr. wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, dan hidayah serta karuniaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi Gender dalam Agama Buddha” sebagai tugas mata kuliah “Relasi Gender dalam Agama-Agama”.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang taat hingga akhir zaman. Al-hamdulillah, atas karunia-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi Gender dalam Agama Buddha”. Penulis menyadari, bahwa dalam membuat makalah ini, masih kurang sempurna atau tidak memenuhi tujuan yang diinginkan baik oleh Dosen Pemberi tugas Mata Kuliah Relasi Gender dalam agama-Agama. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun didalam, cara praktis hasil makalahnya, demi tugas-tugas berikutnya dan kesempurnaan didalam sebuah makalah.
Tak lupa, atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak, hingga terselesaikannya tugas makalah ini,  penulis ucapkan terima kasih. Semoga amal baiknya mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.



Ciputat, 15 September 2016
                                                                                                                                                                                                                                                                         Penulis,


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Pemakalah ............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Gender dalam Perspektif Buddha......................................................... 3
B.  Status Perempuan dalam Ajaran Agama Buddha................................. 5
1.      Status Perempuan dalam Aliran Buddha Theravada......................... 6
2.      Status Perempuan dalam Aliran Mahayana ...................................... 5
C.  Peran Perempuan dalam Sejarah Agama Buddha................................. 8
1.      Penolakan terhadap Argumen ‘Setara’ dalam Buddhisme................ 9
2.      Perempuan-Perempuan dalam Aliran Agama Buddha.................... 11
D. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional............ 12

BAB III PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 15




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pada awalnya Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki-laki. Kemudian seiring dengan berkembangnya zaman peran gender dalam masyarakat Buddha, dibangun secara social budaya atau dengan cara sudut pandang seseorang pada masanya. Kekuasaan dan kewenangan ditentukan oleh tradisi dan adat dalam masyarakat tersebut. Ketika Budha hadir status perempuan menurun karena dominasi para Brahmana. Kemudian seiring waktu Budhisme pada masa sekarang menekankan pada peran dan status perempuan, bukan hanya dengan menambah perannya sebagai seorang ibu, istri, dan anak perempuan, namun juga dengan membuka jalan baru bagi perempuan untuk menjadi seorang akademisi, pemimpin komunitas, petapa pengelana, dan pencari kebebasan setaraf dengan laki-laki.[1]
            Kemudian Dalam tradisi Budhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai Nirwana. Hal ini termaktub dalam teks: “Siapapun yang memiliki seuah kendaraan seperti itu, baik perempuan maupun laki-laki, sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan tadi, ia akan mencapai Nirwana” (S.1.3). Budhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai arhant (Nirwana). Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Namun demikian, dalam aliran Budha Mahayana, perempuan diposisikan lebih rendah daripada laki-laki.[2]
            Melalui proses pengamatan, analisis, dan eksperimen yang panjang, akhirnya Buddha berhasil menembus kebenaran (Dhamma) dan merumuskan suatu cara hidup (way of life), Delapan Jalan Utama. Sebagai suatu cara hidup, ajarannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit, status sosial, atau faktor-faktor lainnya.[3]
            Bangsa Indonesia pada umumnya tidak mempermasalahkan apakah mereka dipimpin oleh seorang perempuan atau laki-laki. Dalam mengisi kegiatan di segala bidang sesungguhnya perempuan baik sebagai warga negara maupun sumber daya manusia mempunyai hak dan kewajiban sama dengan laki-laki. Sejak konversi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, persoalan keadilan perempuan semakin mengemuka dikalangan feminis Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam sambutannya pada Hari Ibu 22 Desember 2006 mengatakan bahwa perempuan harus bisa melakukan upaya mengembangkan diri dengan menghormati diri sendiri, percaya diri, mandiri dan mengembangkan diri. Pendeknya perempuan harus bisa mengembangkan dirinya.[4]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Status Perempuan dalam Agama Buddha?
2.      Bagaimana Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha
3.      Bagaimana Reinterpretasi dan Adaptsi Peran-Peran Gender Tradisional?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui dan memahami bagaimana status perempuan dalam agama Buddha
2.      Untuk mengetahui bagaimana peran perempuan dalam sejarah perkembangan agama Buddha secara keseluruhan
3.      Dan untuk mengetahui dan memahami Bagaiamana Reinterpretasi dan Adaptsi peran-peran Gender Tradisional
BAB II
PEMBAHASAN
A.                Gender dalam Perspektif Buddhis
            Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki-laki. Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak ada sistem kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu menjalankan Dhamma terlepas dia laki-laki atau perempuan. Salah satu ini juga yang membuat sang Buddha terkadang menegur golongan Brahmana. Mereka mengajarkan ajaran mereka demi mengkokohkan kedudukan mereka di mata masyarakat sehingga hal ini harus dijauhkan oleh sang Buddha.
Ada sebuah kisah ketika Ratu Malika mengandung, dia berharap keturunannya adalah laki-laki, karena pada masa itu masyarakat mengharapkan anak laki-laki yang lahir. Tetapi Ratu Malika melahirkan seorang anak wanita dan dia bersedih, tetapi hal itu langsung di dinasehati oleh sang Buddha:
“Seorang anak perempuan oh Sri Baginda, akan menjadi keturunan yang lebih baik dari pria, sebab ia akan melahirkan jiwa yang dapat memerintah dan membimbing manusia. bahagialah baginda.”[5]
            Dalam situasi demikian, Buddha hadir membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial. Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni. Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal. Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut bertolak dari Hukum Karma yang diajarkannya: Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
            Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.’ Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status perempuan mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter.
Pendapat lain mengklaim bahwa sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul karena pengaruh Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal yang patrtiarkis di mana agama Buddha berkembang.[6]
            Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini. Dan dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan antara laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan. Agama Buddha membimbing umatnya untuk menghargai gender.

B.                 Status Perempuan dalam Ajaran Agama Buddha
            Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang berkeluarga, agar perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam Samajivi Sutta dusebutkan: “Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang yang memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang sebanding. Suami istri yang demikian itu tentu dapat saling bertemu sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang.” Sang Buddha dari awal sudah mengkritik pendeta Brahmana yang mana ketika mereka menanyakan ke sang Buddha, mereka hanya ingin menguatkan kedudukannya sebagai Brahmana.[7]
            Tradisi Buddhisme, sejak awal memberikan tempat kepada perempuan egaliter dengan laki-laki. Hal ini misalnya dapat dilihat betapa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menempuh jalan spiritual untuk mencapai nirwana. Hal ini termaktub dalam teks; “Siapapun yang memiliki kendaraan seperti itu baik perempuan maupun laki-laki sesungguhnya dengan mempergunakan kendaraan tadi, ia akan mencapai nirwana.” Buddhisme juga memiliki ordo rahib perempuan, dia dapat mencapai Nirwana. Karenanya, rintangan utama untuk mencapai pencerahan bukanlah perempuan, tetapi sikap mental. Namun demikian dalam aliran Buddha Mahayana, perempuan di posisikan lebih rendah daripada laki-laki.[8]
            Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
            Buddha menegaskan potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi (konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan). Tidak ada bias gender atau seksisme dalam ‘ajaran Buddha yang fundamental dan universal.
            Setelah Buddha meninggal timbul pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Jadi ada anggapan bahwa sampai saat ini kelahiran sebagai perempuan sebagai karma buruk masa lampau dibanding kelahiran sebagai laki-laki.[9]

1.                  Status Perempuan dalam aliran Budha Theravada

            Budha menginginkan kaum perempuan terbebas dari penderitaan, jangan menyerah terhadap naluri mereka yang melemahkan, beliau menciptakan kondisi bagi kaum perempuan untuk masuk ke jalur kebijaksanaan dan setuju bahwa perempuan mampu untuk mencapai tingkat arahat. Dalam winaya pitaka menjabarkan tentang disiplin bagi para bhiksuni dan institusi pada masa itu.
            Semua teks pali ini merupakan sumber untuk memahami hakikat perempuan dalam tradisi theravada, jelas bahwa pada jaman Budha, ada banyak kasus perempuan dari berbagai golongan masyarakat yang menjdi bikhuni dan jelas beberapa dari mereka meraih tingkatan arahat.[10]
Akan tetapi pada abad kekinian, tradisi teravada yang dianut di Srilanka, Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar. Tidak lagi punya Bhiksuni maka dari itu aliran tervada di Negara-negara tersebut dipandang sempit dan jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Budha. walaupun sangha Bhiksuni ada di zaman Budha dan sila Bhiksuni termasuk di dalam Winaya dari kitab Pali. Menurut perspektif kontemporer, lenyapnya bhiksuni ari Sangha di Negara-negara Tervada menunjukan ketiadaan dan keterbatasan perkembangan ajaran –ajaran Budha.[11]

2.                  Status Perempuan Dalam Aliran Mahayana
           
Dalam naskah Budhis Mahayana banyak ditemukan contoh-contoh perempuan yang dilukiskan sebagai Bhodisatwa yang maju yang mampu mencapai pencerahan. Kita juga menemukan beberapa ketidak jelasan antara Bhiksuni dan wanita Budha awam. Beberapa kisah yang terkenal dalam Sutra Sadharmapundarika, Sutra Wirmalakirtinirdesa, Sutra Astasahasrika Prajnaparamita, dan Sutra Sirmalasimhanada menggambarkan umat awam wanita, kadangkala bahkan anak-anak perempuan berusia delapan tahun, yang menguasai doktrin yang mendalam terlibat dalam praktik Bhodisatwa.[12]
            Adapun perbedaan status perempuan dalam tradisi Theravada dan Mahayana yaitu:
            Sudut pandang tradisi Mahayana mengenai umat manusia sangat berbeda dari Theravada. Sementara tujuan spiritual Theravada adalah menjadi seorang Arahat, dalam Mahayana tujuannya menjadi seorang Bodhisatwa dan akhirnya menjadi seorang Buddha. Mahayana berarti kendaraan besar, berlawanan dengan Theravada yang berarti kendaraan kecil. Gagasan bahwa kendaraan Mahayana itu cukup besar untuk mengankut semua makhluk mencapai keselamatan, sementara kendaraan kecil Hinayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi Mahayana hanya bisa mengangkut sedikit saja. Sekarang tradisi Mahayana berpandangan lebih liberal dan modern mengenai umat manusia, membuatnya memiliki sudut pandnag yang lebih tepat demi kemajuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, aliran Mahayana menyebar dengan pesat. Salah satu contohnya adalah banyaknya biksuni seperti di Negara Cina, Taiwan, Korea, dan Vietnam.[13]

C.                Peran Perempuan dalam Sejarah Perkembangan Agama Buddha
            Dalam berbagai vihara, para pendeta wanita sebagai pembantu para bhikku dan bikhhuni memberi pembinaan kepada umat baik pria maupun wanita, demikian pula dalam memberikan upacara perkawinan, kematian, tidak ada perbedaan dengan pendeta pria, karena dibutuhkan kerjasama yang sebaiknya untuk umat.[14]
            Perempuan dalam agama Buddha bukan hanya berperan aktif pada masa klasik. Mereka juga aktif di masa modern, dapat  di  ambil contoh, pada tanggal 9 Mei tahun 1979 telah berdiri suatu organisasi agama Buddha yang bernama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Waluba). Organisasi ini dilandasi bagaimana umat Buddha di Indonesia yang telah menjadi beragam sekte dapat bersatu. Maka tercetuslah organisasi tersebut. Kemudian Girirakkhito Mahathera ketua umum DPP Waluba telah menugaskan dengan kepercayaan penuh Dra. Siti Hartati Murdaya, untuk melaksanakan misi, untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi di dalam Perwalian Umat Buddha Indonesia.[15]
            Dalam kehidupan masyarakat, Sang Buddha tidak membedakan peran laki-laki maupun perempuan. Mereka memiliki kemampuan yang setara dan adil. Seperti laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru (Brahamana) sesuai khotbah sang Buddha. Kesetaraan gender dalam agam Budddha disadari kewajibn dan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Menurut agama Buddha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di dunia ini. Dan Dia dapat terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing. Sehingga kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam agama Buddha tidak dipermasalahkan. Agama Budddha membimbing umatnya untuk menghargai gender. Dalam Paninivana Sutta, sang Buddha mengatakan seluruh umaat manusia tanpa tertinggal memiliki jiwa Buddha. Laki-laki dan perempuan memliki tugas yang agunng, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan fungsi kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter yang berlawanan, padahal justeru dari sinilah muncul keseimbangan.
            Dalam agama Buddha, kehidupan di capai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religious dan sekuler. Dalam komunitas religious, jelas bahwa diskriminasi munul, yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu sang Buddha hidup. Karena tangga Bikhuni daianggap sudah hancur dan tidak pernah bisa didirikan lagi ketika India dan Srilanka diserang oleh bangsa Turki dan Holland. Karena syarat pentahbisan Bikhuni dianggap sudah mati, maka kaum perempuaiknyan sudah tidak bisa lagi dioptimasi. Hal ini sudah melawan doktrin dasar sang Buddha tentang kesetaraan.
                 Dalam lapangan sekuler (kehidupan rumah tangga), cacat ini tidak begitu terlihat. Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori sang Buddha karena tidak menemukan teks-teks kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal sebenarnya tidak juga hidup berkeluarga dalam agama Islam, Kristen, Hindhu pernikahan dianggap sakral, namun tidak dalam agama Buddha. Oleh karena itu tidak ada sanksi religious dalam hubungan suami istri.
                 Dalam teori hukum karma, kelahiran sebagai perempuan merupakan karma buruk. Sang Buddha merevolusi hukum tersebut dengan penemuan baru teori hukum karma bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak dibedakan berdasarkan fisik, kelas kastanya. Terapi dari perbuatan masing-masing. Mendengar ajaran itu, para perempuan dari suku Satya yang semuanya bangsawan (dimulai dari bibi sang Buddha sendiri yang menjadi ibu tiri yang membesarkannya, yaitu Mahapati Gotami) dan istri sang Buddha sendiri, Tias Negara menghadap kepada sang Buddha dan memohon: “sang Buddha alangkah baiknya perempuan juga di perbolehkan untuk menjalani hidup suci karena kami ingin mencapai kesucian.” Sang Buddha menjawab: “Berhati-hatilah dengan keinginanmu itu.” Permohonan ini tiga kali di tolak, hingga para perempuan ini minta bantuan asisten sang Buddha yaitu Bikhu Amanda dan ternyata permohonan ini masih di tolak, tetapi pada akhirnya permohonan ini dikabulkan.
                 Dalam konteks perilaku, hubungan laki-laki dan permepuan masih di pengaruhi oleh budaya India  yang patrialistik. Jadi kalau secara teori kelihatannya agama Buddha selangkah lebih maju tapi ternyata beban kultur patrialistrikmasih tetap ada. Misalnya: ada teks yang menyatakan bahwa perempuan yang dianggap sebagai istri sempurna  adalah perempuan yang bangun lebih dulu dari suaminya, selalu pergi idur setelah suaminya tertidur , selalu patuh pada suaminya, selalu bersikap ramah dan sopan, dari mulutnya hanya keluar kata-kata ramah dan sopan. Teks-teks minor seperti itu telah dianalisis oleh feminis Budhhis, terlihat ketidaksesuaian teks teks tersebut dengan teks-teks yang lain, ketidaksinkronan antara teks-teksdengan spirit ajaran Buddha yang egaliter.
Perempuan-perempuan dalam aliran agama Buddha
                   Sang Buddha sudah memberikan petunjukk kepada seluruh manusia bahwa wanita dan laki-laki adalah sama derajatnya. Sang Buddha hanya menilai seseorang dari perbuatan baik bukan dari jenis kelamin. Di masa Buddha sudah terbentuk komunitas Sangha wanita yang dipimpin oleh Prajapati Gautami kemudian diikuti oleh limaratus putri bangsawan. Mereka berjuang agar sang Buddha mentahbiskan mereka sebagai Bikkuni walaupun tubuh dan badan mereka tersiksa. Mereka juga bersedia melakukan atauran- aturan yang ketat demi mencapai Nirvana.
                            Tetapi dalam perkembangan sejarah terdapat perselisihan mengenai apakah perlu ada Bhikkuni? Ada sebagian yang berpendapat bahwa Bhikkuni tak perlu ada dalam sangha. Sebagian lain juga berpendapat bahwa Bhikkuni harus tetap ada karena sang Buddha pun mentahbiskan Bhikkuni pada masanya. Pandangan ini telah terpecah ke dalam dua aliran besar dalam agama Buddha yaitu Mahayana dan Theravada. Konflik yang menandai pemisahan aliran ini ialah sebagian Bhikku mendemo atau memprotes kebijakan sangha yang terlalu ketat, mereka menganggap sangha telah keluar dari ajaran Buddha. Maka sangha mulai rapat dan merekontruksi ulang ajaran sang Buddha. Tetapi upaya ini tidak berhasil, para Bhiku yang merasa kecewa memisahkan diri dan membentuk komunitas yang bernama Mahayana.
                            Dari terpisahnya aliran ini, tentu mempunyai corak pemikiran yang berbeda. Dalam hal kebijakan wanita juga kena imbasnya. Misalanya dalam aliran Theravada, seperti di dalam Vihara Vippasana Bandung, dalam aliran Theravada sudah tidak ada lagi Bhikkuni. Mereka boleh tinggal di Vihara tapa hanya sebagai pelajar bukan sebagai pemimpin upacara. Hali ini dikuatkan oleh pengumuman bahwa Bhikkuni tidak ada lagi di aliran Theravada.

Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional
                   Untuk memebuat kesejajaran gender dikembangkan konsep Bhodisatwa. Bodisatwa mempunyai pengertian yang lebih luas daripada Bhodisatta yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi orang lain. Jadi Bhodisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya dengan Bhodisatta.Evolusi Bhodisatwa Guan-Yin menjadi perempuan juga memberikan dampak kehormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha.[16]
                   Tetapi kalau kita melihat dalam konteks sekarang, di mana kesejajaran laki-laki dan perempuan sudah sedemikian gencarnya diperjuangkan, hal tersebut masih cacat karena Sang Budha harus khawatir dengan pergolakan masyarakat. Sang Budha khawatir jika dia membolehkan perempuan langsung naik sedemikian tingkatnya sejajar dengan laki-laki, maka masyarakat dan bahkan bikhu yang belum mencapai kesucian seperti Sang Budha, akan protes belum bisa menerima revolusi sedemikian besar. Tetapi justru hal ini menjadi nperdebatan lagi, kalau memang Sang Budha  dipercaya sudah mencapai kesucian demikian tinggi, kenapa masih khawatir dengan kondisi masyarakat. Hal ini juga berkaitan karena percakapan yang ada dalam Kitab Suci ini juga menjadi legitimasi bagi para bikhu dan kaum laki-laki dalam agama Budha untuk memandang bahwa posisi perempuan sudah selayaknya di bawah laki-laki. Adanya ketidak sejajaran ini berdampak pada permasalahan gender dalam kehidupan sekuler (kehidupan rumahtangga). Dalam agama Budha, kehidupan dicapai dalam dua komunitas, yaitu komunitas religius dan sekuler.[17]
                   Dalam komunitas religius, jelas bahwa diskriminasi muncul, yaitu hilangnya hak perempuan untuk ditahbiskan menjadi bikhuni, seperti pada waktu Sang Budha hidup.Karena tangga bikhuni dianggap sudah hancur dan tidak pernah bisa didirikan kembali ketika India dan Srilanka diserang oleh Bangsa Turki dan Holland.Karena syarat pentahbisan bikhuni dianggap sudah mati, maka kaum perempuan sudah tidak bisa dioptimasi.Hal ini sudah melawan doktrin dasar Sang Budha tentang kesetaraan.
              Dalam lapangan sekuler (kehidupan rumahtangga), cacat ini tidak begitu terlihat.Sehingga ada ilmuwan yang menyatakan kesempurnaan teori Sang Budha karena tidak menemukan teks-teks yang bersifat metogenis dalam ajaran dasarnya. Maka seakan-akan, dalam ajaran Sang Budha, kesetaraan gender ini sudah terwujud, padahal sebenarnya tidak juga.
              Pembaharuan yang dibawa oleh Buddha tersebut mengajarkan kemuliaan seseorangtidak berasal dari kelahirannya yang berjenis kelamin atau dari keturunan tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan.Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan batin dan membebaskan seseorang dari samsara, oleh karenanya salah satu keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan orangtuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar.
D.    Kedudukan Perempuan Dalam Agama Buddha

1.      Perempuan Sebagai Makhluk Di Muka Bumi

Perspektif Buddhis, manusia pertama adalah makhluk-makhluk cahaya yang aseksual, yang kemudian berdeferensiasi menjadi dua golongan seks. Menjadi laki-laki atau perempuan terkait dengan perbuatan yang bersangkutan CD.III, 84 & 88. Dalam agama Buddha kehidupan tidak hanya sekali, dalam lingkaran kehidupan yang berulang-ulang, seorang laki-laki atau perempuan tidak selalu akan dilahirkan dengan jenis kelamin yang sama dengan kehidupan sebelumnya, begitu pula dengan kehidupan berikutnya[18]. Seorang perempuan padakehidupan sekarang bisa saja dulunya adalah laki-laki seperti yang diriwayatkan mengenai isidasi misalnya, setelah mencapai pencerahan ia dapat mengingat kembali bahwa ia pernah dilahirkan sebagai seorang laki-laki. Nasibnya termasuk jenis kelaminnya berhubungan dengan karma atau perbuatannya di masa yang silam (thing-434-447)[19]
Pada zaman kasta Brahmana, kaum sudra dan budak permpuan dilarang membaca Weda. Hukum manu mencabut hak perempuan dalam agama dan kehidupan spiritual. Seorang perempuan tidak dapat mencapai surga melalui berbagai kebajikan yang diperbuatnya sendiri, Karena seorang perempuan memang menanggungbeban haid, hamil dan melahirkan. Itu yang menghambat kaum perempuan mencapai kedudukan suci. Hukum manu juga menggambarkan bahwa semua perempuan itu jahat, kotor dan digunakan sebagai alat. Status perempuan itu hina dan mereka tidak diperlakukan sebagai manusia.
Setelah datangnya Buddha Gautama seorang perempuan sangat dimuliakan dan disejajarkan dengan kaum laki-laki. Buddha bersabda: kalau seorang perempuan tidak kalah lebih baik ketimbang seorang laki-laki, karena seorang perempuan akan melahirkan seorang Buddha lainnya.

2.      Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan
Menurut agama Buddha sangatlah tidak dibenarkan untuk memandang perempuan lebih rendah. Sang Buddha sendiri pernah dilahirkan sebagai perempuan pada beberapa kesempatan selama kelahiran-kelahirannya terdahulu dalam samsara sebagai perempuan pun beliau mengembangkan kebijaksanaan dan kemuliannya sampai beliau mencapai penerangan.
Dalam Samyutta Nikaya, sang Buddha mengatakan bahwa dalam beberapa hal perempuan dianggap lebih cerdik dan bijaksana dari pada laki-laki. Perempuan dapat mencapai tingkat kesucian seperti laki-laki kalau mereka menjalankan ajaran dan disiplin sang Buddha dengan baik. Sang Buddha merestui berdirinya sang Sangha Bhikkhuni pada 583 SM yang membuka jalan kebebasan bagi kaum perempuan (di India) masa itu untuk menjalankan agama mereka yang sebelumnya sangat dibatasi. Bentuk laki-laki atau perempuan dalam agama Buddha tidak menjadi halangan dalam mencapai kesucian.[20]
Dari uraian diatas jelaslah bahwa sang Buddha telah mengangkat derajat kaum wanita yang pada masa itu dipandang sangat rendah sehingga menjadi sama tingginya dengan kaum laik-laki, bahkan pada saat-saat tertentu sang Buddha sangat berterima kasih dan menghargai peran perempuan. Beliau pernah mengatakan "Itthi hi pi ekacciya seyya", yang berarti perempuan sering lebih baik dari pada kaum laki-laki.
Seperti pada zaman Buddha, Raja Pasenadi Kosala yang sangat sedih ketika mendengar laporan bahwa permaisuri Ratu Mailika melahirkan seorang putri karena beliau menginginkan seorang putra sang Buddha telah menghibur mereka. Beliau menerangkan kepada Raja Kosala Dalam SN.1.86
"Sesungguhnya, seorang anak perempuan dapat merupakan keturunan yang lebih baik dari pada seorang laki-laki, ya baginda raja rakyat : ia dapat tumbuh bijaksana, bajik, dihormati ibu suaminya, sebagai istri yang berdedikasi.
Putra yang dilahirkan darinya kelak dapat menjadi seorang pahlawan, memerintah negara besar.
Putra seperti itu dari seorang perempuan yang mulia yang menjadi pembimbing segenap bangsanya”.[21]
Agama Buddha mengakui derajat dan hak secara hakiki termasuk emanasi perempuan.

3.      Hak dan Kewajiban Laki-Laki dan Perempuan
Dalam agama Buddha hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia, baik laki-laki maupun perempuan, karena seseorang itu tidak bersumber dari suatu kedudukan dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban yang terdapat pada kaum laki-laki dan perempuan itu diberi sejak lahir yang mana laki-laki dan perempuan diberi hak yang sama dengan dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian.
Hak dan kewajiban yang paling asasi dalam agama Buddha adalah hak ntuk hidup, kebebasan, persamaan dan hak milik. Hak dan kewajiban ini dikembangkan menyangkut hak individu dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat terhadap sesamanya. Diantara persamaan hak dan kewajiban kaum laki-laki dan perempuan dalam agama Buddha sebagai berikut.

a.       Hak dan kewajiban memperoleh pendidikan
Pandangan Buddha masalah sentral adalah penderitaan manusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Buddha menempatkan tanha pada urutan pertama yaitu kebodohan, yang tertera pada syair
 “Yang lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan-kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bikhu, singkirkan noda ini dan jadikan orang yang tak bernoda” (Dhp.243)[22]
Dengan kata lain keinginan yang rendah itu bisa membuat manusia bodoh. Bodoh merupakan noda yang paling buruk, jadi perlu dihilangkan. Oleh karena itu Buddha memberikan hak dan kewajiban kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumr hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk menolong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah prilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat. Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk bekerja dan membantu atau melayani orang lain dengan baik.[23]
Pendidikan agama Buddha bertujuan untuk mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak. (Vin. I, 21) karena mendatangkan kebaikan ini, menurut Mahamangal-Sutta, memiliki pengetahuan dan keterampilan merupakan salah satu berkah utama.

b.      Hak dan kewajiban dalam bidang ekonomi
Agama Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan agama yang diajarkan-Nya melatar belakangi ilmu ekonomi bagi pemeluk agama Buddha. Salah satu ilmuwan yaitu Schumacher menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu pasti ada, karena pencaharian atau penghidupan yang benar adalah salah satu dari delapan unsur jalan mulia di dalam agama Buddha yang disebut sila terdiri dari tiga unsur ucapan benar, perbuatan benar dan mata pencaharian benar
Dalam kegiatan ekonomi ini tidak dibedakan antara laki-laki maupun perempuan yang mencari mata pencaharian benar, mereka hanya menjalankan hak dan kewajiban untuk mencari ekonomi demi kelangsungan hidup. Dan mereka harus menjalankan penghidupan secara benar tidak akan merugikan makhluk lain.
Ada banyak mata pencaharian yang baik, yang tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat pihak mana pun menderita. Buddha memperhatikan baik buruknya suatu barang diperdagangkan, sehubungan dengan ajaran tentang sila. Yang terdapat lima jenis perdagangan yang harus dihindari, yaitu berdagang berdagang senjata, makhluk hidup, daging, minuman keras dan racun (A.III,207)[24]

4.      Status dan Peranan Perempuan
Pada zaman sebelum Buddha Gautama, diskriminasi terhadap kaum perempuan merupakan hal yang umum. Status mereka pada masa itu sangat menyedihkan sekali. Mereka tidak dianggap sebagai individu dengan hak-haknya, tetapi mereka hanya merupakan milik yang dapat diberikan, dijual bahkan ditukarkan. Mereka juga dianggap sebagai “benda” pelengkap bagi laki-laki. Tugas mereka hanyalah melaksanakan pekerjaan rumah tangga, pemuas nafsu laki-laki dan sebagai mesin untuk memperbanyak keturunan.
Perempuan pada zaman itu di bawah kekuasaan kaum laki-laki pada masa kanak-kanak perempuan dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah menikah ia dibawah kekuasaan suaminya, meskipun suaminya orang jahat. Ia harus merawat putra-putranya yang akan mewarisi sembahyang leluhurnya kelak. Jika suaminya meninggal dunia, kekuasaan beralih kepada anak laki-laki. Kedudukan laki-laki masa itu dipandang sangat tinggi karena selain sebagai penerus garis keturunan, juga hanya laki-lakilah yang boleh mengadakan upacara sembahyang kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal dunia.[25]
Pada masa Buddha Gautama diskriminasi terhadap kaum perempuan yang demikian ekstrim, Sang Buddha muncul dan memberikan kebebasan penuh kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan agama. Beliau merupakan guru agama yang pertama yang memberikan agama ini kebebasan kepada perempuan; mengangkat dan memberikan persamaan status kepada kaum perempuan serta tidak membatasi mereka untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian dan kemajuan bathiniah. Beliau mengatakan bahwa hina atau mulianya
manusia itu tergantung kepada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin atau kastanya.
Dalam hal ini peranan perempuan pun sangat penting dan dapat dipertimbangkan dalam peranan sebagai berikut:
a.       Sebagai seorang istri
Dengan mendalami apa yang diajarkan oleh Buddha, tidak akan mempersoalkan siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara suami dan istri. Kepada anak-anak perempuan uggaha yang akan menikah, peran sebagai istri Buddha memberi nasehat agar seorang istri bangun lebih pagi dan tidur lebih malam dari pada suaminya. Nasehat itu tidak berdiri sendiri dan justru untuk kepentingan perempuan agar dapat menjaga posisinya. Buddha tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang istri bersikap agar tetap dicintai suami (dan sebaliknya), tetapi juga sejauh mana istri dapat berperan. Seorang istri dapat mempelajari seluk beluk pekerjaan suami dan lebih baik lagi sanggup menguasainya. Ia harus cakap mengelola rumah tangga, mengatur agar seluruh penghuni rumah melaksanakan kewajiban dan mematuhi kebutuhan masing-masing, baik yang sehat atau pun yang sakit. Istri pula yang mengamankan pendapatan atau harta (A.III, 36-37) perempuan yang memiliki kualitas semacam itu akan berhasil meraih kekuasaan dan dunia ada dalam genggamannya (A.IV, 270). [26]
b.      Sebagai seorang ibu
Ajaran Buddha menggambarkan kehidupan wanita sebagai seorang ibu, mempunyai kedudukan yang terhormat. Terkadang digambarkan bahwa
ibu merupakan tangga untuk naik ke surga (paramasakha). Aspek keibuan penting dalam kehidupan karena selalu akan memberikan kelahiran baru. Kualitas manusia yang dilahirkan banyak tergantung dari sikap jiwa ibu yang mengandung dan memelihara sejak dalam kandungan.
Dalam agama Buddha dikenal adanya tprajnaparamita sebagai perlambang dari sifat keibuan yang penuh dengan cinta kasih sayang. Dalam salah satu bait syair dari Rahulabadra dinyatakan Prajnaparamita sebagai ibu para Buddha sebagai berikut:
“Para Buddha yang menjadi guru agung adalah putramu yang tersayang dan terkasih karena itu engkau adalah putri yang diberkahi yang paling mulia dari segala makhluk”.
Dari syair ini Prajnaparamita dilambangkan sebagai ibu yang bijaksana, yang telah melahirkan para Buddha melalui kebijaksanaan sempurna yang sangat menentukan dalam kelahiran manusia baru yang bijaksana (prajna).[27]
Di dalam Karaniya Metta Sutta dijelaskan tentang cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya sebagai berikut:
“Bagaikan cinta kasih seorang ibu terhadap anak tunggalnya, yang tidak segan-segan berkorban, sekalipun dengan mengorbankan jiwa raganya. Demikianlah hendaknya cinta kasih yang tiada terhingga ini dipancarkan kepada semua makhluk tanpa batas”.
Pengembangan pemujaan pada aspek keibuan mendapati ciri khas dalam Buddha Dharma sebagai pemujaan ibu dunia, suatu bentuk Bodisatva yang digambarkan sebagai perempuan yang agung, bijaksana dan penuh cinta kasih-kasih sayang. Dengan dinyatakan sifat feminin dalam pemujaan, maka aspek keperempuan memperkaya pandangan tentang keibuan, sehingga sikap keagamaan yang ketat dapat diperlunak dengan sifat keibuan, toleransi yang penuh kasih semesta.


















                                                          BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada saat Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan atau disebut deskriminasi terhadap kaum perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya hanya dari kalangan laki-laki saja.
Pada saat Buddha hadir ia membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial. Tetapi Setelah Buddha meninggal timbulah pandangan bahwa kelahiran sebagai perempuan lebih rendah karena karma buruk telah hilang sebelumnya. Dan ada perdebatan antara status perempuan dalam aliran Theravada dan Mahayana.











DAFTAR PUSTAKA
Diputhera, Oka. Agama Buddha Bangkit. Arya Suryacandra Okaberseri Cet. 1., Jakarta:2006
Dhiya’ul Fauzain, Aris. Perbandingan Agama 3. Jakarta: 2016
Sharma Arvind (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA-McGill Project, 2002
Soepangat, Parwati. Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team Penyusun Vihara Vimala Dharma, Bandung: cet. II 2005
Wiharja, Jani Tandi “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita budha lintas generasi” .
Dikutip dari Pdf Perspektif Buddhis tentang Pemahaman dan Sikap Adil Gender dalam Keluarga. Wilis Rengganiasih E.E.
https//relasi gender 2016 bu Nadroh/Relasi Gender dalam Agama-Agama   Relasi Gender Dalam Agama Budha.htm diakses pada tanggal 14 September 2016      




                [1] https//relasi gender 2016 bu Nadroh/Relasi Gender dalam Agama-Agama   Relasi Gender Dalam Agama Budha.htm diakses pada tanggal 14 September 2016
                [2] Arvind Sharma (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA-McGill Project, 2002: h. 130
                                                [3] Dikutip dari Pdf Perspektif Buddhis tentang Pemahaman dan Sikap Adil Gender dalam Keluarga. Wilis Rengganiasih E.E.
[4]  Ida Ayu Tary Puspa, Pemimpin Perempuan yang Balinese dalam Perspektif Hindu, http://ejoernal unud.ac.id,30 Januari 2009  
                [5] Parwati Soepangat, Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team Penyusun Vihara Vimala Dharma, (Bandung: cet. II 2005). h. 125
                [6] Dikutip dari Pdf Perspektif Buddhis tentang Pemahaman dan Sikap Adil Gender dalam Keluarga. Wilis Rengganiasih E.E.
                [7]http://www.kompasiana.com/ardiyansyah/relasi-gender-dalam-agama-budha_ (di akses pada tanggal 14 september 2016)
                [8] Aris Dhiya’ul Fauzain, Perbandingan Agama 3, (Jakarta: 2016)  h. 155
                [10]  Jani Tandi Wiharja, “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita budha lintas generasi” . h. 174
                [11] Jani Tandi Wiharja, “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita budha lintas generasi” . h. 177
                [12] Jani Tandi Wiharja, “MEMPERTEMUKAN DUNIA suara-suara wanita budha lintas generasi” . h. 175
                [14] Parwati Soepangat, Pengabdian Dalam Buddha Dharma. h. 128
                [15] Oka Diputhera, Agama Buddha Bangkit, (Arya Suryacandra Okaberseri Cet. 1., Jakarta:2006). Hal:83
                [16] http://dhammacitta.org/artikel/diskriminasi-perempuan-buddhis/ diakses pada tamggal 14 september 2016
[18] Fadlur Rahman, Nasib Perempuan Sebelum Islam, (Gresik: Putra Belajar, 2002), h. 30
[19] Therighatha, 434-447
[20] M. Masyhur Amin, Mashruchah, Wanita dalam Percakapan AntarAgama (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1992), h. 54

[21] Dioko Mulyono, Petrus Santoso dan Kristiyanto Liman, Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha, Fpbl, 2008), h. 548
[22] Dhammapada, h. 243

[23] Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre, 2003), h. 304
[24] Anguttara-nikaya.III, h. 207
[25] M. Masyhur Amin, h. 52

[26] Anguttara-nikaya, IV, 270

[27] M. Masyhur Amin,  h.  47

google+

linkedin